Rabu, 20 Mei 2020

Ghibah yang dibolehkan

Ghibah yang dibolehkan

Ghibah termasuk dosa besar dan sudah kita ketahui berbagai macam ancaman dan keharamannya.

Namun untuk ghibah dibolehkan jika
ada tujuan yang syar’i, 
darurat, 
tidak di jadikan suatu kebiasaan, 
seperlunya saja (tidak berlebihan/melampaui batas)
yaitu dibolehkan dalam enam keadaan. 

Sebagaimana dijelaskan oleh ulama besar Madzab Syafi'i Imam an-Nawawi رَحِمَهُ الله yaitu 6 keadaan yang dibolehkan menyebutkan ‘aib orang lain adalah sebagai berikut :

Pertama
Pengaduan/Melaporkan Kedzaliman.
Maka dibolehkan bagi orang yang teraniaya mengadu kepada penguasa atau hakim dan yang lainnya, 
yang memiliki kekuasaan dan kemampuan untuk mengadili orang yang menganiaya dirinya.
Maka dia (boleh) berkata : 
“Si fulan telah menganiaya saya demikian dan demikian”.

Kedua
Meminta Tolong Agar Dihilangkan Dari Suatu Perbuatan Mungkar
Dan Untuk Membuat Orang Yang Berbuat Kemungkaran Tersebut Kembali Pada Jalan Yang Benar.
Maka seseorang (boleh) berkata kepada orang yang diharapkan kemampuannya bisa menghilangkan kemungkaran :
“Si fulan telah berbuat demikian,
maka hentikanlah dia dari perbuatannya itu.” dan yang selainnya.
Dan hendaknya tujuannya adalah sebagai sarana untuk menghilangkan kemungkaran,
jika niatnya tidak demikian maka hal ini adalah haram.

Ketiga
Meminta Fatwa.
Misalnya Minta pada seorang mufti seperti : 
“Bapakku telah berbuat dzolim padaku”,
atau “Saudaraku,
atau suamiku,
atau si fulan telah mendzolimiku,
apakah hukuman yang dia dapatkan?,
dan bagaimanakah jalan keluar dari hal ini,
agar hakku bisa aku peroleh dan terhindar dari kedzoliman ?”, dan yang semisalnya. 

Keempat
Mengingatkan Kaum Muslimin Terhadap Suatu Kejelekan dan Menasehati mereka.
Hal ini diantaranya: Jarh wa ta’dil (celaan dan pujian terhadap seseorang) yang telah dilakukan oleh para Ahlul Hadits.
Mereka berdalil dengan ijma’ tentang bolehnya, bahkan wajibnya hal ini. 
Karena para salaf umat ini senantiasa menjarh (mencela) orang-orang yang berhak mendapatkannya, 
dalam rangka untuk menjaga keutuhan syari’at. Seperti perkataan ahlul hadits :
“Si fulan pendusta”,
“Si fulan lemah hafalannya”, 
“Si fulan munkarul hadits”,

Kelima
Seseorang Yang Terang-Terangan Menampakkan Ke-Fasikannya Atau Ke-Bid’ahannya.
Seperti orang yang terang-terangan meminum khamer,
mengambil harta manusia dengan dzolim,
dan lain sebagainya.
Maka boleh menyebutkan kejelekan-kejelekannya. 

Keenam
Untuk Pengenalan.
Jika seseorang terkenal dengan suatu laqob (gelar) seperti :
Al-A’masy (si rabun)
atau Al-A’roj (si pincang) 
atau Al-A’ma (si buta)
dan yang selainnya,
maka boleh untuk disebutkan.
Dan diharamkan menyebutkannya dalam rangka untuk merendahkan. 
Adapun jika ada cara lain untuk untuk mengenali mereka (tanpa harus menyebutkan cacat mereka) maka cara tersebut lebih baik.
(Imam an-Nawawi, Syarh Shahih Muslim, 16 : 124-125)

Inilah 6 sebab yang sudah di sepakati oleh para ulama dengan dalil sebagai berikut :
Dari 'Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا bahwa seseorang meminta izin kepada Nabi ﷺ
Maka beliau berkata :
"Izinkanlah dia,
Sejelek-jeleknya saudara dari seluruh keluarganya."
(Muttafaqun 'alaihi, HR. Bukhari 6032, Muslim 2591)

'Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا berkata, 
Rasulullah ﷺ bersabda :
"Aku tidak yakin si fulan dan si fulan mengetahui sedikitpun tentang agama kita."
(HR. Bukhari 6067, 6068)

Suami Fatimah binti Qais dahulu telah mentalaknya tiga kali.
Rasulullah ﷺ tidak menjadikan bagi Fatimah tempat tinggal dan tidak mendapatkan nafkah. 
Rasulullah ﷺ lantas berkata pada Fatimah :
“Jika engkau telah halal untuk dinikahi (setelah melewati masa ‘iddah),
sampaikanlah kabar tersebut padaku.”
Fatimah pun memberitahu Nabi ﷺ (ketika telah selesai ‘iddahnya),
bahwasanya ia telah dikhitbah (dilamar) oleh Mu’awiyah
Abu Jahm,
juga oleh Usamah bin Zaid.
Rasulullah ﷺ bersabda :
“Adapun Mu’awiyah itu miskin, tidak punya harta.
Sedangkan Abu Jahm biasa memukul istrinya.
Nikahlah saja dengan Usamah bin Zaid.”
Lantas Fatimah berisyarat dengan tangannya sambil berkata :
“Hah … Usamah, Usamah.”
Rasulullah ﷺ pun bersabda :
“Taat Allah dan Rasul-Nya itu baik untukmu.”
Fatimah berkata :
“Aku pun memilih menikah dengan Usamah,
akhirnya aku merasakan kebahagiaan.”
(HR. Muslim no. 1480)

Zaid bin Arqam melaporkan Abdullah bin Ubay dan teman²nya kepada Rasulullah ﷺ atas fitnahnya kepada Rasulullah ﷺ.
"Kemudian Rasulullah ﷺ mengutus orang kepada Abdullah bin Ubay menanyakan kabar tersebut,
Lalu ia mengingkari atas apa yang ia lakukan dan berkata :
Zaid telah berdusta kepada Rasulullah ﷺ,
Maka diriku (Zaid) merasa sempit atas apa yang mereka katakan itu
sampai Allah menurunkan ayat tentang pembenaranku (QS. Al-Munafiqun :1),
Maka Nabi saw memanggil mereka untuk memintakan ampunan atas perbuatan mereka,
Namun mereka malah memalingkan kepala."
(Muttafaqun 'alaihi, HR. Bukhari 4903, Muslim 1/2772)

Dari ‘Aisyah رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا berkata, 
Hindun (istri Abu Sofyan) berkata kepada Nabi ﷺ :
“Sesungguhnya Abu Sufyan seorang yang kikir
dan tidak memberi belanja yang cukup untukku
dan untuk anak-anakku,
kecuali jika saya ambil tanpa pengetahuannya.”
Nabi ﷺ berkata :
“Ambillah apa yang cukup untukmu
dan untuk anak-anakmu dengan cara yang baik (jangan terlalu banyak dan jangan terlalu sedikit).”
(Muttafaqun 'alaihi, HR. Bukhari 5364, Muslim 1714)

Semoga bermanfaat.
إِنْ شَاءَ اللّٰهُ

#UstadzIbnuAbidinAsSoronjiحفظه الله تعالى

Sumber     : @Almanhaj

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Bukti Cinta kepada Rosulullah ﷺ

Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang berarti segala sesuatu yang bersumber dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi ...